Depok, 27 Desember 2021. Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia (FKG UI) menyelenggarakan sidang terbuka Promosi Doktor Ilmu Kedokteran Gigi dengan promovendus drg. Iwany Amalliah Badruddin, M.Epid. Ia dinyatakan lulus dan menjadi doktor kelima yang lulus tahun ini dari fakultas tersebut, sekaligus Doktor ke-123 dengan predikat cumlaude (3.96). Dr. Iwany menyampaikan disertasi yang berjudul “Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pengalaman karies di Indonesia berdasarkan siklus kehidupan (Analisis data Riskesdas 2018)”.
Sidang Promosi Doktor tersebut diketuai oleh Prof. Dr. M. F. Lindawati S.Kusdhany, drg., Sp.Pros(K), Dekan FKG UI, dengan promotor Prof. Anton Rahardjo, drg., MKM., Ph.D., dan ko-promotor 1 Dr. Febriana Setiawati, drg., M.Kes., dan ko-promotor 2 drg. Melissa Adiatman, Ph.D. Tim penguji pada sidang tersebut adalah Prof. Diah Ayu Maharani, drg., Ph.D., Prof. Risqa Rina Darwita, drg., Ph.D., Prof. Dr. M. Suharsini Soetopo, drg., SU, Sp.KGA(K), Prof. Sondang Pintauli, drg., Ph.D., dan drg. Tati Suryati, MARS.
Penyakit karies gigi merupakan penyakit multifaktorial kompleks. Karies gigi memiliki karakteristik yang menjadikannya sebagai masalah kesehatan global adalah karies gigi dapat terjadi di semua populasi, prevalensi tinggi dan kerusakannya bersifat permanen. Sifat kerusakan yang permanen atau irreversible menjadikan karies gigi berkorelasi kuat dengan pertambahan usia. Makin bertambah usia, maka jumlah gigi yang akan mengalami kerusakan akan bertambah pula. Penyakit karies gigi yang tidak diobati adalah penyakit gigi dan mulut yang paling umum dan masih menjadi masalah kesehatan masyarakat global. Sekitar 2,3 miliar penduduk dunia menderita karies gigi permanen, yang berdampak kehilangan 1.618.900 tahun produktif (YLD: Year Life with Disability); dan lebih dari 531 juta penduduk dunia menderita karies gigi sulung sehingga berdampak mengalami 138.900 YLD. “Kondisi penyakit karies gigi di Indonesia tidak mengalami perbaikan seperti yang ditunjukkan dari proporsi masyarakat Indonesia yang mengalami karies aktif, terjadi peningkatan sejak tahun 2007 sampai 2018. Peningkatan penyakit karies gigi di Indonesia dari data Riskesdas 2007-2018 menunjukkan kemungkinan target Indonesia Bebas Karies 2030 tidak dapat tercapai bila pemerintah tidak segera menemukan strategi penyelenggaraan program pencegahan yang tepat”.
“Kebaruan dari disertasi ini, yaitu: (1) Pendekatan siklus kehidupan yang digunakan dalam mempelajari faktor-faktor yang mempengaruhi penyakit karies gigi di Indonesia; (2) menghasilkan model prediksi faktor-faktor yang mempengaruhi penyakit karies gigi berdasarkan siklus kehidupan; (3) menghasilkan rekomendasi para pembuat kebijakan dalam merumuskan program pencegahan penyakit karies gigi secara berkesinambungan”, ujar Dr. drg. Iwany Amalliah Badruddin, M.Epid.
Desain penelitian ini adalah potong lintang dengan menggunakan data sekunder Riskesdas 2018 pada lima kelompok usia menurut WHO. Dari 44.699 subjek pada blok gigi Riskesdas 2018, setelah proses pembersihan, transformasi variabel, dan pembobotan data, didapat sebanyak 668 subjek berusia 5 tahun, 690 subjek berusia 12 tahun, 649 subjek berusia 15 tahun, 8123 berusia 35-44 tahun, dan 2602 subjek berusia 65-74 tahun. Variabel-variabel yang berhubungan dengan penyakit karies gigi dalam data Riskesdas 2018 dikelompokkan menurut kelompok faktor sesuai konsep Force Field and Well-Being Paradigms of Health oleh Hendrik L. Blum, yaitu lingkungan, perilaku, genetik, dan pelayanan kesehatan. Kelompok faktor genetik tidak dapat diperiksa karena tidak tersedia dalam data Riskesdas 2018. Selain itu, faktor-faktor yang berpengaruh dengan analisis Regresi Logistik Berganda model prediksi, dilakukan secara terpisah pada kelima kelompok usia sesuai pendekatan siklus kehidupan, yaitu kelompok usia 5, 12, 15, 35-44, dan 65-74 tahun. Siklus kehidupan digunakan karena adanya perbedaan faktor yang mempengaruhi status kesehatan di setiap tahapan kehidupan.
Dalam penelitian dengan data Riskesdas 2018 ini, prevalensi karies gigi pada kelompok 5, 12, 15, 35-44 dan 65-74 tahun adalah 93,4%, 68,8%, 68,1%, 92,1%, dan 95,2%. Tingkat keparahan penyakit karies gigi untuk kelompok 5 tahun adalah Severe-ECC menurut AAPD, sedangkan kelompok 12 tahun dan 35-44 tahun masuk kategori rendah menurut WHO. Rerata gigi berlubang yang tidak dirawat tertinggi adalah pada kelompok 5 tahun, yaitu 8,51 gigi perorang. Rerata gigi hilang karena karies tertinggi adalah pada kelompok lansia sebesar 6,77 gigi perorang. Rerata gigi yang ditumpat karena karies adalah di bawah 1 gigi perorang. Kelompok faktor paling berpengaruh pada penyakit karies gigi di Indonesia adalah perilaku kesehatan, yaitu faktor persepsi tentang masalah kesehatan gigi, kebiasaan merokok, dan kebiasaan menyikat gigi. Setelah itu diikuti oleh kelompok faktor pelayanan kesehatan, yaitu pemanfaatan pelayanan kesehatan dan kecukupan tenaga dokter gigi di puskesmas. Kelompok faktor terakhir adalah lingkungan, yaitu status sosioekonomi dan status gizi. Pada kelompok anak dan remaja, faktor persepsi tentang masalah kesehatan gigi, pemanfaatan pelayanan kesehatan gigi, dan tingkat pendidikan ayah ada di semua kelompok. Faktor sosioekonomi selain tingkat pendidikan ayah yang ada dalam model prediksi anak dan remaja adalah tingkat pendidikan ibu, status ekonomi keluarga, dan status pekerjaan ibu. Status gizi lebih ada dalam kelompok usia 5 dan 12 tahun. Variabel yang ada bersama di kelompok dewasa dan lansia adalah status merokok aktif dan kecukupan tenaga dokter gigi di puskesmas. Faktor perilaku lain adalah menyikat gigi pada lansia, persepsi tentang masalah kesehatan gigi dan frekuensi konsumsi pada dewasa. Faktor lingkungan adalah jenis kelamin, status gizi lebih dan status gizi kurang pada dewasa. Faktor pelayanan kesehatan lain adalah pemanfaatan pelayanan di kelompok dewasa dan wilayah tempat tinggal di kelompok lansia.
“Faktor yang berpengaruh terhadap pengalaman karies berbeda pada setiap kelompok usia. Hal ini berimplikasi pada program pencegahan penyakit karies gigi. Program promotive-preventif penyakit karies gigi sebaiknya dirancang berdasarkan kelompok usia dan pada faktor yang dapat dimodifikasi. Prioritas khusus diberikan pada kehidupan awal dimulai dari ibu hamil, anak pra-sekolah (TK dan PAUD), berupa intervensi untuk memastikan bahwa anak-anak dan keluarga diberikan pelayanan menyeluruh (promotif, Preventif dan rehabilitatif) yang terbaik tanpa melupakan kelompok usia lain yang juga rentan, misalnya lansia dan berkebutuhan khusus. Strategi peningkatan kesehatan mulut perlu difokuskan pada penanganan determinan social, bersama yang mendasari kondisi kronis Penyakit Tidak Menular (PTM), termasuk penyakit gigi dan mulut. Pendekatan multisektoral selain kesehatan, diperlukan untuk mendukung promosi dan kesetaraan tingkat kesehatan khususnya kesehatan gigi dan mulut dengan menggunakan paradigma sehat, yang artinya konsep penyakit karies gigi harus dipandang sebagai bebas karies dan bukan bebas lubang gigi”.